Cerita tentang "Kelas B" ini saya ambil dari buku si cacing (cerita ke-7). Berikut cerita singkatnya:
Beberapa tahun yg lalu, sebuah penelitian di bidang pendidikan dilakukan di inggris. Di sebuah sekolah, ada dua kelas dengan siswa yang berumur sepantar. Pd akhir tahun ajaran, dilakukan ujian untuk pembagian kelas pd tahun berikutnya. Akan tetapi, hasil ujian tidak diumumkan, hanya kepala sekolah dan pakar psikologis saja yang mengetahui. Dlm kerahasiaan (hanya kepala sekolah dan pakar psikologis yang tahu), anak2 yang peringkat 1 ditempatkan dengan siswa peringkat 4,5,8,9,11.dst. Siswa dibagi menjadi 2 kelas dengan acak, diberi fasilitas yang sama, diajar dengan guru dengan kualitas yang sama. Semuanya dibuat setara mungkin, kecuali 1 hal : satu disebut "kelas A" dan satunya "kelas B". Semua orang berfikir bahwa, anak2 di kelas A adalah anak2 yang lebih cerdas dari anak2 di kelas B. Ketika akhir tahun lagi diadakan ujian, hasilnya diumumkan. Anak2 di kelas A menunjukkan prestasi yang lebih baik drpd anak2 kelas B. Anak2 di kelas A benar2 menjadi anak-anak kelas A (nomor), dan anak2 kelas B, walaupun setara pada tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.
Fenomena tersebut banyak terjadi dalam masyarakat kita, dan kadang saya sendiri men-judge diri saya termasuk dalam "kelas B". Kata-kata yang biasa muncul adalah kata-kata kurang bersyukur, putus asa, tidak percaya diri, berburuk sangka pada Sang Pencipta, dst. Pikiran2 ini yang akan membentuk kita. Padahal kita semua diciptakan terbaik oleh Sang Pencipta, so rasa syukurlah yang seharusnya kita panjatkan. Memaksimalkan segala potensi yang ada dan optimis bahwa kita bisa.