Anda pernah menahan tangis sekuat tenaga? saya pernah, sangat menyakitkan rasanya. Pagi itu tanggal 2 syawal, hari kedua lebaran. Secara umum, kebanyakan muslim sedang sangat bahagia. Merayakan hari kemenangan, berkumpul dengan keluarga. Namun di rumah sangat sederhana itu, hanya isak tangis yang ada. Salah seorang penghuninya meninggal dunia, bertemu dengan Penciptanya.
Sebuah keluarga sederhana yang sering diceritakan ibu saya. Alhamdulillah, 2 hari sebelum idul fitri, saya bersilaturahim mengunjungi mereka. Mari saya ceritakan kehidupan di rumah itu. Rumah sederhana yang masih berlantai tanah itu dihuni 5 orang, seorang nenek, sepasang suami istri yang istri adalah anak dari nenek itu dan kedua putri mereka yang satu lulus SMP dan adeknya baru kelas 4 SD. Sang nenek sakit-sakitan, sepasang suami istri itu kerja serabutan, seringnya sebagai buruh tani di sawah. Anak pertama mereka terpaksa tidak melanjutkan ke SMA karena masalah biaya. Dalam perjalanan pulang dari silaturahim itu, mulut, hati dan pikiran saya masih "manis" Walau memang banyak kata "andaikan" yang muncul di benak saya, tapi sudahlah, itu yang saat ini bisa saya lakukan untuk mereka. Semoga kondisi seperti itu memang jalan mereka untuk mendekat pada Sang Pencipta.
Pagi itu tanggal 2 syawal, hari kedua lebaran. Pulang sholat subuh dari masjid, saya mendapati ibu sedang menangis. Mendapat kabar bahwa anak dari nenek itu meninggal dunia. Sangat mendadak, tidak ada keluhan sakit sebelumnya, beliau terkena serangan jantung. Hari pertama syawal masih bersilaturahim ke tempat saudara-saudaranya. Setelah magrib pusing, muntah, pingsan, dan dibawa ke rumah sakit dalam kondisi koma. Akhirnya meninggal pukul 03.30 pagi. Mendengar kabar itu, pikiran saya jadi kosong. Belum hilang bayangan kerasnya hidup keluarga mereka, ditambah berita pagi itu, rasanya masih belum percaya. Ujian mereka begitu berat. Pagi itu, lagi-lagi mulut, hati, dan pikiran saya masih "manis". Allah sudah berkehendak, mungkin ini memang yang terbaik untuk mereka.
Pagi itu, kami sekeluarga takziah, sekitar 7km jarak dari rumah kami. Saya dan adek sudah mewanti-wanti ibu untuk tidak menangis ketika di sana, karena niat ke sana untuk menghibur, menguatkan, bukan menambah kesedihan. Semua berjalan sesuai rencana, walau melihat wajah-wajah sedih, banyak isak tangis, saya masih tenang terus beristighfar. Ibu sesekali menitikkan air mata. Saat itu, mulut, hati, dan pikiran saya masih "manis". Namun, keadaan jadi berbeda ketika si anak itu menyalami saya, mengucapkan terima kasih. Berbeda sekali dengan ucapan terima kasihnya ke saya ketika hari jumat itu, tempat yang sama dalam kondisi yang sangat berbeda. Dada saya sakit menahan tangis, tak sepatah katapun terucap. Tiba-tiba hati dan pikiran saya tak lagi "manis". Mulai bertanya "kenapa mereka, kenapa seberat ini untuk mereka, bagaimana kehidupan nenek dan anak-anak itu nantinya, kenapa, kenapa". Dan tangis saya akhirnya pecah, air mata akhirnya jatuh, bukan lagi menangisi mereka. Tapi menangisi kesombongan saya, siapa saya yang sok bertanggung jawab atas mereka. Seakan lupa, siapa selama ini yang memberi kita rejeki, siapa yang memberi kesehatan, siapa yang mendengarkan doa-doa kita. Pasti Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak akan membiarkan hambaNya larut dalam kesulitan. Pasti ada jalan bagi mereka yang tawakal, berusaha yang terbaik dan berprasangka baik.
Setiap kita pasti akan sampai pada waktunya. Waktu untuk kembali pada Sang Pencipta. Bisa hari ini atau entah kapan, tinggal kita jalani dan tergantung kita sendiri, kembali dengan bekal iman atau tanpa bekal.
Itulah hidup dek, kadang apa yang terjadi sangat di luar dugaan kita. Beberapa kali saya melihat peristiwa kematian dan dalam hati bertanya "kenapa harus dia, harus keluarga itu, harus mereka?". Namun setelah merenung dan melihat ke depan, insyaAllah ada hikmah terbaik bagi pelakunya bahkan bagi tetangga atau orang-orang di sekitarnya. Subhghanallah, inilah skenario Allah. Skenario terbaik di alam semesta ini. Wallahu'alam.
ReplyDeleteIya mbak, pelajaran hidup yang berharga.
ReplyDelete