Monday, January 21, 2013

Irama Rindu

Siang itu hari ahad. Saya sedang di dalam angkot menuju sedang serang, biasalah, agenda pekanan. Alhamdulillah cuaca cerah dan macet dimana - mana. Wajar saja, ini akhir pekan. Hari dimana plat mobil menyesuaikan dengan abjad pertama kota ini, plat B untuk kota Bandung.



Ketika berada dalam angkot dan dalam perjalanan "jauh", bagiku saat itulah duniaku "berhenti" sejenak. Fisik diam, pikiran melayang kemana-mana. Seringnya sih "terbang kebelakang". Dalam keasyikan itu, dalam kemacetan di sekitar jalan tamansari, terdengar sesuatu yang tidak asing.


Bapak sopir angkot ternyata menyetel lagu-lagu campursari. "Ah, mungkin pak sopir ini orang jawa", pikir saya. Wew, emang saya sedang di mana? Di tanah Sunda sodara-sodara. Emang Sunda bukan termasuk jawa? Pertanyaan retoris bergenre klasik. :)


Oke, kembali ke campursari. Dalam 11 hari kemarin saya mudik ke ponorogo, dan bertahun-tahun hidup saya bersama orang tua, campursari adalah "makanan" telinga sehari-hari. Kedua orang tua saya, sangat suka bunyi-bunyian. Dari setelah subuh, suara radio sudah terdengar. Biasanya isinya pengajian. Setelah itu, radio pindah ke  Suargo FM, banyak info tentang kegiatan pesantren itu. Mungkin itu yang akan dijadikan bahan smsan ibu dengan anak lanangnya. Setelah itu pindah ke Hp yang dicolokin ke speaker, menyetel suara ida laela atau campursari.


Bapak juga seperti itu, ketika saatnya istirahat siang sekitar jam 14, tidak lupa menyetel radio yang isinya request dan kirim salam untuk campursari, atau menyetel CD campursari. Belum juga beberapa menit, biasanya sudah lelap tertidur.


KartunCampurSari-1


Kadang kalau di rumah, suara-suara itu membuat saya sedikit jengah, terasa berisik. Bukan berarti saya tidak cinta kebudayaan jawa, tetapi saya belum bisa menikmatinya. Paling yang saya lakukan diam-diam mengecilkan volumenya, atau malah saya matikan saja radionya. Toh bapak juga sudah nyenyak. Saya juga kerap protes ke ibu sambil tertawa "iki laguu opo?", dan ibu selalu menjawab "nyapo lo, apik kok".


Ketika mendengar campursari di angkot, saya jadi amat sangat kangen rumah sekali. Kali ini suaranya benar-benar merdu, enak di dengar. Irama yang mendayu-dayu membuat semakin rindu. Plus merasa bersalah atas protes dan "sabotase" yang sebelumnya saya lakukan.


Nah kan, satu lagi pembuktian. Hidup itu bukan melulu tentang apa yang menimpa kita, bukan sepenuhnya tentang apa yang terjadi pada kita. Itu hanya faktor luar, yang lebih penting bagaimana kita menyikapinya :)

10 comments:

  1. ceritanya dari yang nggak suka jadi suka sama irama campursari ya ? :)

    ReplyDelete
  2. haha..entah sudah termasuk suka apa belum, tapi waktu itu bisa menikmati :)

    ReplyDelete
  3. kalau suara campursari, sering denger aku mba disekitar rumah. Tapi kalau orang nyetel suara gamelan di tengah malam, itu rasa'a horor banget, alias bikin nyali ciut entah kenapa

    ReplyDelete
  4. kalo lagi di rumah serasa gimanaaaaaaa gitu dengerin campur sari, Teh. tapi kalu lagi dirantau, maunya dengerin campursari terus, biar bisa mengkondiiskan diri serasa dirumah.

    ReplyDelete
  5. yups, kadang apa yang kita kurang sukai di kampung sendiri menjadi hal yang bisa kita "nikmati" saat berada di kampung orang. mungkin itu karena hal tersebut bisa mengingatkan kita pada kampung ya....

    ReplyDelete
  6. berarti sudah mulai dikit suka ya :)

    ReplyDelete
  7. hooo..iya ya, ngeri juga klo denger suara gamelan tengah malem..tapi aku belum pernah

    ReplyDelete
  8. hehehe...hampir sama nih kayak aku, tapi aku belum sampe dengerin campursari terus-terusan gitu.. :)

    ReplyDelete